Negative Thinking Part #3 "A Simple Happiness"
Kita tidak akan bisa mengejar kebahagiaan; kita hanya akan menjadi siapa dan apa pada saat ini
Fritz Perls (1893-1970)
KATA orang sih, kebahagiaan itu tidak bisa dibeli. Namun, setiap orang pasti mencarinya, bukan? Bahkan, mungkin ada orang-orang tertentu yang mengejarnya. Ya. Mengejar kebahagiaan. Dengan uang, mungkin. Dengan prestasi, mungkin. Dengan keluarga, mungkin. Dengan pekerjaan, mungkin.
Dua tahun lalu, tepatnya. Tepat di minggu-minggu akhir bulan Juli seperti sekarang ini. Bedanya saat ini purnama indah tertutup awan tebal sedang tergantung di langit dan saat itu bintang-bintang bertaburan memenuhi langit.
Saat itu merupakan saat yang menyenangkan sekaligus penuh tantangan buat seorang mahasiswi di perantauan. Menyenangkan karena ia sedang memulai suatu hal yang baru, yaitu KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan penuh tantangan karena ia sedang berhadapan dengan lingkungan, teman, tugas, dan momok terbesar dalam hidupnya-ANAK-ANAK!
Satu hal yang ia tidak pernah lupa, di sana banyak sekali anak-anak. Baik di jalan besar, jalan kecil, bahkan jalan tikus tetap ada anak kecil yang selalu dengan ceria memanggil namanya dan mengikuti kemana ia pergi.
Masa awal KKN adalah neraka buat mahasiswi di perantauan ini. Bagaimana tidak, anak-anak yang kotor dan jarang mandi itu selalu muncul! Di jalan, di muka pintu rumah pondokan, dan di kelas dimana ia harus mengajar, kelas lima.
Kelas lima. Minggu pertama membuatnya gila. Kelas lima. Minggu berikutnya membuatnya berdoa. Kelas lima. Kelas yang melukiskan satu kenangan indah di hatinya.
Kelas lima. Minggu pertama membuatnya gila. Kelas lima. Minggu berikutnya membuatnya berdoa. Kelas lima. Kelas yang melukiskan satu kenangan indah di hatinya.
Hari Rabu ia mengajar prakarya. Pelajaran yang sangat dibencinya. Karena tidak mau repot, ia membeli beberapa kertas lipat di kota. Ia berniat mengajarkan cara melipat kertas sederhana. Sesampainya di kelas lima, anak-anak seperti biasa "terlalu" riang gembira. Saking gembiranya suaranya sampai tidak bisa didengar seantero kelas lima. Tapi apa mau dikata, inilah kelas lima.
Dikeluarkannya kertas lipat sebanyak-banyaknya. Diberikannya kepada seluruh anak kelas lima dan ia terkesima. Selembar kertas lipat yang dianggapnya biasa ternyata buat kelas lima hal langka luar biasa. Betapa kelas lima sangat menghargai kertas lipat yang sudah disiapkannya.
Hari itu, pelajaran prakarya menjadi suatu sukacita buatnya. Anak-anak memperhatikan apa yang diajarkannya! Tanpa sadar jam pelajaran sekolah telah usai, namun kelas lima tidak mau berhenti belajar prakarya. Mereka masih asyik dengan bentuk-bentuk segitiga bahkan segilima. Dan, tunggu! ada sepasang mata bola menatapnya.
"Sini, masuklah," ia menyuruh pemilik mata bola itu masuk ke kelas lima.
"Siapa namamu?" ia bertanya ke pemilik mata bola yang ternyata bukan anak kelas lima.
Dia mengucapkan sebuah nama. Langsung diberinya pemilik mata bola itu selembar kertas lipat di meja. Disuruhnya membuat bentuk apapun yang ia suka. Pemilik mata bola itu membuat sebuah robot dengan bentuk yang tidak biasa. Ia terkesima. Jauh melebihi buatan seluruh anak kelas lima, bahkan buatannya.
Hari itu, sebuah piring plastik besar penuh dengan bentuk-bentuk apik menjadi penghuni baru kelas lima. Hari itu terdengar isakan lembut, sebuah tangisan bahagia. Tangisan bahagia karena Tuhan telah menjawab doanya, untuk bisa mencintai anak-anak kelas lima.
Bahagia itu sederhana, pikirnya.
Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri
Markus 12:31a
Selasa, 23/07/2013
22:37 WIB
Esther Irma E.
Comments
Post a Comment